Kamis, 19 Juni 2014

MENGENAL ANTIBIOTIKA DAN RESISTENSI OBAT



Apakah Anda menyadari efek negatif penggunaan antibiotika yang non prosedural...??

Beberapa penyakit infeksi, menjadi penyebab kematian terbesar di Indoensia. Di indoensia penyakit infeksi seperti TBC, hepatitis, demam berdarah, meningitis dll., sudah menjadi epidemik yang dapat kita temukan di berbagai wilayah di tanah air.  Infeksi merupakan suatu penyakit yang disebabkan oleh kuman, baik bakteri, virus, jamur, atau parasit lain. Penyakit ini sering ditemukan pada daerah tropik seperti Indonesia. Penanganan penyakit ini dapat menggunakan antibiotika yang dapat membantu dalam pengontrolan infeksi dan menangani kuman resisten yang terdapat dalam infeksi tersebut (WHO, 2001). Antibiotika adalah senyawa kimia yang dihasilkan oleh berbagai jasad renik seperti: bakteri, jamur dan aktinomiset, yang dapat berkhasiat menghentikan pertumbuhan atau membunuh jasad renik lainnya yang meruguikan tubuh (Subronto dan Tjahajati, 2001).

Antibiotika yang diperoleh secara alami dari mikroorganisme disebut antibiotikaa alami, antibiotika yang disintesis di laboratorium disebut antibiotika sintetis. Antibiotika yang dihasilkan oleh mikroorganisme dan dimodifikasi di laboratorium dengan menambahkan senyawa kimia disebut antibiotika semisintetis (Subronto dan Tjahajati, 2011).

Penemuan antibiotika diinisiasi oleh Paul Ehrlich yang pertama kali menemukan apa yang disebut “magic bullet’, yang dirancang untuk menangani infeksi mikroba. Pada tahun 1910, Ehrlich menemukan antibiotika pertama, Salvarsan, yang digunakan untuk melawan syphilis. Ehrlich kemudian diikuti oleh Alexander Fleming yang secara tidak sengaja menemukan penicillin pada tahun 1928. Tujuh tahun kemudian,Gerhard Domagk menemukan sulfa, yang membuka jalan penemuan obat anti TB, isoniazid. Pada 1943, anti TB pertama ,streptomycin, ditemukan oleh Selkman Wakzman dan Albert Schatz. Wakzman pula orang pertama yang memperkenalkan terminologi antibiotika. Sejak saat itu antibiotika ramai digunakan klinisi untuk menangani berbagai penyakit infeksi (Zhang, 2007).

Secara garis besar antibiotika dibagi menjadi dua jenis yaitu yang membunuh kuman (bakterisid) dan yang hanya menghambat pertumbuhan kuman (bakteriostatik). Antibiotika yang termasuk golongan bakterisid antara lain penisilin, sefalosporin, aminoglikosida (dosis besar), kotrimoksazol, rifampisin, isoniazid dan lain-lain. Sedangkan antibiotika yang memiliki sifat bakteriostatik, dimana penggunaanya tergantung status imunologi pasien, antara lain sulfonamida, tetrasiklin, kloramfenikol, eritromisin, trimetropim, linkomisin, klindamisin, asam paraaminosalisilat, dan lain-lain (Laurence & Bennet,1987). Antibiotika yang dibagi berdasar senyawa kimianya antara lain golongan penicillin, cephalosporin, amfenikol, aminoglikosida, tetrasiklin, makrolida, linkosamid, polipeptida, dan antimikobakterium.

Penggunaan antibiotika di Indonesia yang cukup dominan adalah turunan tetrasiklin, penisilin, kloramfenikol, eritromisin dan streptomisin. Seperti juga di negara lain, pola penggunaan antibiotikaa tersebut telah mencapai tingkat yang berlebihan dan banyak diantaranya digunakan secara tidak tepat (WHO, 2001). Antibiotika dapat ditemukan dalam berbagai sediaan, dan penggunaanya dapat melalui jalur topical, oral, maupun intravena. Banyaknya jenis pembagian, klasifikasi, pola kepekaan kuman, dan penemuan antibiotika baru seringkali menyulitkan klinisi dalam menentukan pilihan antibiotika yang tepat ketika menangani suatu kasus penyakit. Hal ini juga merupakan salah satu faktor pemicu terjadinya resistensi.

Resistensi didefinisikan sebagai tidak terhambatnya pertumbuhan bakteri dengan pemberian antibiotika secara sistemik dengan dosis normal yang seharusnya atau kadar hambat minimalnya. Sedangkan multiple drugs resistance (MDR) didefinisikan sebagai resistensi terhadap daua atau lebih obat maupun klasifikasi obat. Sedangkan cross resistance adalah resistensi suatu obat yang diikuti dengan obat lain yang belum pernah dipaparkan (Tripathi, 2003).

Resistensi terjadi ketika bakteri berubah dalam satu atau lain hal yang menyebabkan turun atau hilangnya efektivitas obat, senyawa kimia atau bahan lainnya yang digunakan untuk mencegah atau mengobati infeksi. Bakteri yang mampu bertahan hidup dan berkembang biak, menimbulkan lebih banyak bahaya. Kepekaan bakteri terhadap kuman ditentukan oleh kadar hambat minimal yang dapat menghentikan perkembangan bakteri (Bari,2008). Timbulnya resistensi terhadap suatu antibiotika terjadi berdasarkan salah satu atau lebih mekanisme berikut:
o   Bakteri mensintesis suatu enzim inaktivator atau penghancur antibiotika . Misalnya Stafilokoki, resisten terhadap penisilin G menghasilkan beta-laktamase, yang merusak obat tersebut. Beta-laktamase lain dihasilkan oleh bakteri batang Gram-negatif.
o   Bakteri mengubah permeabilitasnya terhadap obat. Misalnya tetrasiklin, tertimbun dalam bakteri yang rentan tetapi tidak pada bakteri yang resisten.
o   Bakteri mengembangkan suatu perubahan struktur sasaran bagi obat. Misalnya resistensi kromosom terhadap aminoglikosida berhubungan dengan hilangnya (atau perubahan) protein spesifik pada subunit 30s ribosom bakteri yang bertindak sebagai reseptor pada organisme yang rentan.
o   Bakteri mengembangkan perubahan jalur metabolik yang langsung dihambat oleh obat. Misalnya beberapa bakteri yang resisten terhadap sulfonamid tidak membutuhkan PABA ekstraseluler, tetapi seperti sel mamalia dapat menggunakan asam folat yang telah dibentuk.
o   Bakteri mengembangkan perubahan enzim yang tetap dapat melakukan fungsi metabolismenya tetapi lebih sedikit dipengaruhi oleh obat dari pada enzim pada kuman yang rentan. Misalnya beberapa bakteri yang rentan terhadap sulfonamid, dihidropteroat sintetase, mempunyai afinitas yang jauh lebih tinggi terhadap sulfonamid dari pada PABA (Jawetz, 1997).

Penyebab utama resistensi antibiotika adalah penggunaannya yang meluas dan irasional. Lebih dari separuh pasien dalam perawatan rumah sakit menerima antibiotika sebagai pengobatan ataupun profilaksis. Sekitar 80% konsumsi antibiotika dipakai untuk kepentingan manusia dan sedikitnya 40% berdasar indikasi yang kurang tepat, misalnya infeksi virus.

Perkembangan resistensi bakteri terhadap antibiotika sangat dipengaruhi oleh intensitas pemaparan antibiotika di suatu wilayah, tidak terkendalinya penggunaan antibiotika cenderung akan meningkatkan resistensi kuman yang semula sensitif. Beberapa survai resep di dalam dan luar negeri menemukan bahwa antibiotikaa betalaktam masih merupakan antibiotika yang paling banyak diresepkan sehingga kuman-kuman telah resisten terhadap antibiotikaa tersebut (WHO, 2001)

Rumah sakit dapat memonitor kepekaan dengan mencatat data laboratorium uji kepekaan, sehingga dapat digunakan untuk membuat pedoman penggunaan antibiotika, antibiotika yang masih berpotensi dapat diketahui, penggunaan antibiotika dapat dilaksanakan secara tepat, aman dan efektif serta menghasilkan luaran klinik yang lebih baik (WHO, 2001). Peta kuman atau yang disebut peta bakteri dan kepekaannya terhadap antibiotika di suatu rumah sakit dapat digunakan sebagai acuan pemberian antibiotika secara empirik. Pernyataan tersebut bertujuan untuk menghindari penggunaan antibiotikaa yang tidak bijaksana (Parwati, 2012).

(Disarikan dari Laporan PLA mahasiswa Non Kpendidikan di RSHS tahun 2014)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar