Sabtu, 31 Mei 2014

Keterampilan dasar mengajar: Keterampilan Bertanya


Bertanya adalah kemampuan dasar dan naluri manusia untuk mencari jawaban atas fenomena yang ada di sekitarnya. Sejak balita sampai tua manusia selalu mengajukan pertanyaan baik terungkap secara eksplisit maupun tidak terungkap. Demikian juga dalam konteks pembelajaran kemampuan dan keterampilan guru dalam mengajukan pertanyaan merupakan salah satu keterampilan dasar mengajar yang harus dimiliki oleh setiap guru. Menurut Lindsey (1988 dalam Widodo 2012) menyatakan bahwa bertanya bukanlah suatu keterampilan mudah dan dapat berkembang dengan sendirinya tanpa latihan. Untuk dapat mengajukan pertanyaan,  harus melewati beberapa tahapan:
·   Pertama, anak harus menguasai pengetahuan dasar berkaitan dengan topik yang sedang dibicarakan;
·    Kedua, anak harus dapat bisa melihat bagaimana kesesuaian apa yang telah diketahui tersebut dengan hal-hal lain yang belum diketahui;
·   Ketiga, anak harus menganalisis hubungan antara yang telah diketahui dengan yang belum diketahui;
·   Keempat, anak harus mengenali mana yang relevan dan yang tidak relevan dari informasi yang ada; dan
·       Kelima, anak harus melakukan analisis sebab akibat dan melakukan verifikasi;
Tahapan di atas dengan jelas menunjukkan bahwa tanpa latihan dan pembiasaan sulit untuk diharapkan bahwa anak akan menjadi trampil bertanya dengan sendirinya.
Beberapa penelitian mengungkapkan bahwa siswa SD jarang sekali mengajukan pertanyaan (Widodo, Sumiati & Setiawati, 2006) padahal saat mereka masih kecil atau saat tidak di dalam kelas anak banyak sekali bertanya. Mengapa dalam pembelajaran jarang sekali muncul pertanyaan siswa? Salah satu penyebab kurangnya siswa bertanya adalah kurangnya kesematan yang diberikan guru. Ada beberapa alasan terkait hal ini, misalnya terlalu banyaknya materi yang harus disampaikan guru, kekhawatiran guru akan munculnya pertanyaan yang sulit dijawab, atau pandangan bahwa pertanyaan yang diajukan siswa seringkali merupakan pertanyaan yang “konyol” atau aneh-aneh. 
       Beberapa alasan yang menghalangi guru untuk mendorong siswa bertanya sesungguhnya bisa dikurangi apabila guru menguasai keterampilan  menangani pertanyaan siswa. Keterampilan menangani pertanyaan siswa merupakan keterampilan yang dapat dipelajari. Agar dapat menangani pertanyaan siswa, guru perlu memahami jenis-jenis pertanyaan yang umum diajukan oleh anak SD. Penulis menggunakan kata “menangani” dan bukannya kata “menjawab” karena seringkali akan lebih baik apabila guru tidak menjawab pertanyaan siswa secara langsung sekalipun guru tahu jawabannya, namun membantu siswa menemukan sendiri jawaban pertanyaannya. Meskipun  demikian hal ini tentu saja tergantung pada pertanyaan macam apa yang diajukan.
Seringkali apabila siswa mengajukan pertanyaan, pertanyaan tersebut seringkali merupakan pertanyaan yang kurang bermakna dan sulit di jawab. Menurut Harlen (1997), pertanyaan yang diajukan siswa dapat dikelompokkan menjadi 5 jenis, yaitu:

  1. Pernyataan (komentar yang dinyatakan dalam bentuk pertanyaan)
Pertanyaan yang diajukan siswa sesungguhnya bukanlah pertanyaan, namun merupakan komentar mereka sebagai bentuk ungkapan kekaguman. Pertanyaan jenis ini tidak perlu dijawab, namun harus diberikan tanggapan sehingga pertanyaan tersebut dapat mendorong siswa belajar.
Contoh:
Pada saat sedang mengamati buah-buahan yang ukurannya sangat besar seorang anak bertanya “Mengapa buah ini besar sekali?” pertanyaan ini sebenarnya hanyalah ungkapan kekaguman anak terhadap buah yang besar. Sebenarnya guru bisa saja mencoba menjelaskan kepada anak tersebut, namun penjelasan ini tidaklah perlu dan mungkin juga terlalu sulit dipahami anak. Dalam kasus seperti ini guru bisa mengarahkan siswa untuk mengamati apakah semua buah sama besarnya atau mengamati buah yang besar tersebut.

  1. Pertanyaan yang bersifat filosofis
Pertanyaan jenis ini sesungguhnya tidak ada jawabannya, misalnya pertanyaan: “Mengapa daun pisang lebar sedangkan daun beringin kecil-kecil?” Apabila ditelusuri lebih jauh ternyata seringkali pertanyaan seperti ini muncul karena siswa belum terampil dalam bertanya. Seringkali yang ingin mereka tanyakan adalah penjelasan tentang keragaman dan bukan mengapa keragaman itu terjadi.
Seringkali anak menggunakan kata tanya ‘mengapa’ sehingga pertanyaan tersebut terkesan sebagai pertanyaan filosofis, padahal yang ingin mereka ketahui sesungguhnya adalah ‘apa yang membuat seperti keadaan yang ada’ dan bukan ‘mengapa keadaannya bisa seperti demikian’.  Apabila pertanyaan yang diajukan oleh siswa tampak sebagai pertanyaan filosofis, langkah pertama yang harus dilakukan adalah meminta anak untuk menjelaskan apa yang sesungguhnya ingin dia ketahui jawabannya, misalnya dengan bertanya “Apa maksud kamu?”. Apabila siswa masih kesulitan guru bisa mencoba dengan memformulasikan ulang pertanyaan siswa, misalnya “Apakah maksud kamu adalah apa saja perbedaan antara daun pisang dan daun beringin?”

  1. Pertanyaan yang menuntut fakta sederhana
Pertanyaan yang termasuk kategori ini adalah pertanyaan yang menuntut jawaban tentang nama, asal, waktu dan ukuran. Pertanyaan ini hanya memerlukan jawaban yang singkat. Pertanyaan jenis ini mungkin perlu segera dijawab, namun kadang siswa perlu diberi kesempatan untuk menemukan sendiri jawabannya.
Contoh
Pada saat sedang berkeliling alaman sekolah seorang siswa bertanya “Apa nama tumbuhan ini?”, “Apakah buahya bisa dimakan?”
Pertanyaan seperti ini seringkali muncul karena anak hanya sekedar ingin tahu bahwa semua tumbuhan mempunyai nama. Mereka akan puas apabila mereka sudah diberi tahu jawabannya. Beberapa pertanyaan yang meminta fakta sederhana seringkali tidak dapat dijawab. Anak-anak kecil seringkali berpandangan bahwa gurunya mengetahui segalanya dan adalah sangat penting bagi guru agar anak sadar bahwa guru bukanlah orang yang tahu segalanya.  Karena itu apabila guru memang tidak tahu jawabannya guru bisa berkata “Ibu tidak tahu jaawabanya, bagaimana kalau kita cari bersama-sama jawabanya”.

  1. Pertanyaan yang memerlukan jawaban yang kompleks
Seringkali anak-anak mengajukan pertanyaan yang menuntut jawaban yang panjang lebar dan kompleks yang apabila dijelaskan juga sulit dimengerti oleh anak tersebut. Guru dapat saja menjawab pertanyaan jenis ini, namun hendaknya diusahakan sesederhana mungkin sehingga bisa dimengerti anak. Namun sering juga salah satu aspek pertanyaan yang kompleks ini dapat dipecah sehingga menjadi pertanyaan yang bisa dicari jawabannya dengan pengamatan.
Contoh
     Ketika mengamati sederetan semut yang berjalan beriringan melewati lintasan yang sama siswa kemudian bertanya “Mengapa semut-semut itu mengambil jalan yang sama?”    Penjelasan pertanyaan ini bisa sulit sebab guru harus menjelaskan tentang bahan kimia semacam feromon yang dikeluarkan semut. Kalaupun guru bisa memberikan penjelasan belum tentu siswa bisa memahaminya. Karenanya memberikan penjelasan tidaklah banyak bermanfaat.
Pertanyaan seperti ini tampaknya merupakan jenis pertanyaan yang paling sulit untuk dijawab oleh guru, namun sebenarnya pertanyaan tersebut merupakan pertanyaan yang sangat bermanfaat untuk mengarahkan pada kegiatan penelitian. Untuk itu guru perlu “mengubah“ pertanyaan siswa menjadi pertanyaan yang bisa diteliti. Guru misalnya bisa bertanya “Apakah kalau lintasan semut tadi dihapus, semut-semut akan tetap berjalan mengikuti lintasan yang ada?” Pertanyaan ini bisa ditemukan jawabannya setelah kita mencobanya dengan menghapus lintasan semut tadi.
‘Mengubah’ pertanyaan anak menjadi pertanyaan yang dapat diteliti merupakan keterampilan yang penting yang harus dimiliki oleh guru.  Keterampilan ini akan membuat guru dapat memperlakukan pertanyaan yang sulit secara serius tanpa memberikan jawaban yang di luar batas pemahaman anak.  Hal ini juga menunjukkan kepada anak bahwa mereka dapat menemukan sendiri jawaban pertanyaann mereka melalui kegiatan investigasi (penelitian).  Hal ini sekaligus menunjukkan kepada anak tentang apa itu kegiatan ilmiah dan menemukan jawaban dengan menanyakan langsung pada bendanya.

  1. Pertanyaan yang dapat mengarah pada kegiatan pengamatan dan penelitian sederhana
Walaupun sangat jarang terjadi, namun kadang anak mengajukan pertanyaan yang mengarah pada penyelidikan. Apabila muncul pertanyaan jenis ini hendaknya dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk mengajak anak melakukan pengamatan atau penyelidikan. Apabila kegiatan pengamatan atau penyelidikan tersebut tidak dapat dilakukan saat itu juga guru dapat merencanakannya untuk kesempatan yang lain.


(Materi dikutip dari Makalah pengabdian masyarakat pelatihan keterampilan proses Sains bagi guru-guru SD Kodya Bandung,  sumber:  DR. Ari Widodo)

Rabu, 28 Mei 2014

Pendidikan Abad 21

Pendidikan pada hakikatnya adalah proses memanusiakan manusia. Pendidikan merupakan usaha sadar dan terprogram untuk membangun manusia supaya bisa lulus hidup dan dapat melindungi diri terhadap alam serta mengatur hubungan antar-manusia..

Melalui pendidikan diharapkan terjadi proses mengembangkan kapasistas diri peserta didik dari generasi ke generasi, sehingga dapat mengembangkan pengetahuan, sikap dan keterampilan guna merespon dan mengatasi permasalahan dan tantangan hidup yang selalu dinamis dan progresif dari masa ke masa.

Isu dan oreintasi pendidikan abad ke-21adalah dapat menghasilkan insan Indonesia yang produktif, kreatif, inovatif, dan afektif melalui penguatan sikap (tahu mengapa), keterampilan (tahu bagaimana), dan pengetahuan (tahu apa) yang terintegrasi. Diakui dalam perkembangan kehidupan dan ilmu pengetahuan abad 21, kini memang telah terjadi pergeseran baik ciri maupun model pembelajaran. Skema 1 menunjukkan pergeseran paradigma belajar abad 21yang berdasarkan ciri abad 21 dan model pembelajaran yang harus dilakukan (Sumber: Kemendiknas).

iklan2-skema1

Untuk menerapkan perubahan tersebut dibutuhkan proses pembelajaran yang mendukung kreativitas. Oleh sebab itu perlu merumuskan  sistem pendidikan yang mengedepankan pengalaman personal melalui proses mengamati, menanya, menalar, dan mencoba (observation based learning) untuk meningkatkan kreativitas peserta didik (Kemendiknas, 2013). Di samping itu, dibiasakan bagi peserta didik untuk bekerja dalam jejaringan melalui collaborative learning. Serta oreintasi pensididkan abad ke-21 diharapkan  mampu membelajarkan siswa, sehingga siswa bisa belajar mandiri, tanpa bergantung pada guru. Disamping itu siswa dapat mengeksplorasi potensinya sedniri dengan belajar penemuan dan tugas projek untuk dapat memecahkan masalah yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari.
.


Selasa, 27 Mei 2014

Malpraktek Pembelajaran IPA

IPA atau sains merupakan cara berpikir (the ways of thinking), dalam upaya mempelajari fenomena alam untuk memecahkan masalah-masalah yang berhubungan dengan kehidupan. Hakikat IPA sendiri bukan semata-mata produk hasil penemuan para ilmuan yang berupa konsep, prinsip, teori dan hukum-hukum yang ada dalam buku teks IPA, namu IPA juga merupakan suatu "inquiri" proses bertanya dan mencari jawaban terhadap fenomena alam yang dinamis, melibatkan aktivitas hands-on dan minds-on sehingga menghasilkan suatu generalisasi keilmuan yang sahih dan teruji, serta berimplikasi pada pemecahan  masalah kehidupan sehari-hari. Penemuan konsep, prinsip-prinsip, teori-teori dan hukum-hukum IPA bukanlah penemuan sekali jadi dan tiba-tiba, akan tetap penemuan yang panjang dan melellahkan, yang penuh semangat "curiosity"- rasa ingin tahu yang mendalam, dibarengi kecermatan, ketelitian dan mental baja untuk menemukan jawaban atas hipotesis yang dibangunya.

Namun kalau kita mencermati praktik pembelajarn IPA di sekolah-sekolah, masih banyak guru  yang mengajarkan IPA sebatas transfer pengetahuan berupa konsep-konsep, prinsip, teori dan hikum-hukum IPA, tanpa melibatkan siswa secara autentik dalam proses penemuan dan konstruksi konsep tersebut, sebagaimna para ilmuan melakukan penemuan dan mengkonstruksi konsep-konsep tersebut. Coba kita renungkan guru IPA mengajarkan konsep fotosintesis di SMA hanya cukup dengan 6 jam pelajaran alias 240 menit. Jauh sekali dengan waktu yang ditempuh oleh para ilmuan untuk menyelidiki proses tersebut menghasbiskan waktu bertahun-tahun lamanya, sementara siswa hanya mempelajari konsep tersebut dalam tempo 6 jam pelajaran. Jadi bukan hanya dalam bidang medis atau kedokteran saja terjadi malpraktek, akan tetapi telah terjadi malpraktek dalam bidang pendidikan IPA.  Jadi  bagaimana  seharusnya kita berbuat supaya tidak ada malpraktek dalam pemebelajaran IPA..?  Kita harus kembali pada hakikat pendidikan IPA itu sendiri, sehingga pembelajaran IPA akan lebih bermakna bagi anak bangsa.

Minggu, 25 Mei 2014

Hakekat Evaluasi Pembelajaran

Perubahan paradigma penilaian: Assessment of Learning ----> Assessment for learning. Evaluasi atau penilaian memiliki peranan penting dalam pendidikan, oleh karena itu guru harus mampu melakukan penilaian sesuai dengan standar yang berlaku, penilaian dapat berupa hasil atau juga dapat menekankan pada proses dan hasil belajar yang lebih dikenal dengan istilah asesmen. Selama ini penilaian yang dilakukan oleh guru di sekolah hanya menekankan pada penilaian hasil belajar, sementara penilaian proses jarang sekali dilakukan oleh guru, padahal jika hal ini dilakukan akan memberikan gambaran yang utuh terhadap proses pembelajaran yang dilakukan oleh siswa selama mengikut proses pembelajaran di kelas. Jadi evaluasi pembelajaran IPA harus mulai ditata, yang harus lebih menekankan pada penilian atau asesmen proses (Assessment for learning), dibandingkan assemen hasil belajar (Assessment of learning) semata. Perlu diperhatikan bahwa evaluasi sangat berhubungan erat dengan aspek perencanaan pembelajaran terutama dengan rumusan tujuan pembelajaran, dan tentunnya dengan proses kegiatan belajar mengajar itu sendiri, seperti tampak pada bagan di bawah ini:


Tujuan utama evaluasi pembelajaran bukan untuk membuktikan (prove) keberhasilan kegiatan pembelajaran dan praktik pembelajaran di kelas. Tujuan utama evaluasi atau asemen adalah untuk memperbaiki dan meningkatkan (improve) kualitas proses pembelajaran itu sendiri (Assessment for learning). Sehingga pembelajaran IPA di kelas bersifat dinamis, dan dari waktu ke waktu mengalami perkembangan dan keamajuan yang berarti. 

Untuk membuat alat evaluasi yang sahih diperlukan perancangan dan persiapan yang memadai, mulai dari membuat kisi-kisi evaluasi sampai menyusun butir-butir soal yang tepat sesuai dengan materi atau bahan ajar dan tujuan pembelajaran yang dirumuskan. Demikian juga menyusun soal harus memperharikan jenjang kognitif yang sesuai dengan tujuan pembelajaran. Aspek pencapaian dan tagihan Ranah kognitif sering mengacu pada taksonomi pendidikan Bloom (Benjamin Bloom, 1956) atau Taksonomi Bloom revisi (Anderson & Krathwohl, 2001).



ASPEK/RANAH
Kompetensi
INDIKATOR (Kata kerja operasional)
Kognitif
Knowledge (Pengetahuan)
Menyebutkan, menuliskan, menyatakan, mengurutkan mengidentifikasi, mendefinisikan, mencocokkan, memberi nama, meberi label, dan melukiskan.
Comprehension (Pemahaman)
Menerjemahkan, mengubah, menggeneralisasi, menguraikan, menuliskan kembali, merangkum, membedakan, mempertahankan, menimpulkan, mengemukakan pendapat, dan menjelaskan.
Application (Penerapan)
Mengoperasikan, menghasilkan, mengubah, mengatasi, menggunakan, menunjukkan, mempersiapkan, dan menghitung.
Analysis (Analisis)
Menguraikan, membagi-bagi, memilih, dan membedakan.
Synthesis (Sintesis)
Merancang, merumuskan, mengorganisasikan, menerapkan, memadukan, dan merencanakan.
Evaluation (Evaluasi)
Mengkritissi, menafsirkan, mengadili, dan memberikan evaluasi.
Afektif
Receiving              (Penerimaan)
Mempercayai, memilih, mengikuti, bertanya, dan mengalokasikan.
Responding (Menanggapi)
Konfirmasi, menjawab, mebaca, membantu, melaksanakan, melaporkan, dan menampilkan.
Valuing                    (Penanaman nilai)
Menginisiasi, menundang, melibaykan, mengusulkan, dan melakukan.
Organization (Pengorganisasian)
Memverifikasi, menyusun, menyatakan, menghubungkan, dan mempengaruhi.
Characterization (Karakterisasi dan menjadi pola hidup))
Menggunakan nilai-nilai sebagai pandangan hidup, mempertahankan nilai-nilai yang sudah diyakini
Psychomotor (gerak jiwa)
Observing (Pengamatan)
Mengamati proses, memberi perhatian pada tahap-tahap sebuah perbuatan, memberi perhatian pada sebuah artikulasi
Imitation (Peniruan)
Melatih, mengubah, membongkar sebuah struktur, membangun kembali sebuah struktur, dan menggunakan sebuah model.
Practicing (Pembiasaan)
Membiasakan perilaku yang sudah dibentuknya, mengontrol kebiasaan agar tetap konsisten.
Adapting (Penyesuaian)
Menyesuaikan model, mengembangkan model, dan menerapkan model.
 

 Selengakpanya