Apakah Anda menyadari
efek negatif penggunaan antibiotika yang non prosedural...??
Beberapa penyakit infeksi, menjadi penyebab
kematian terbesar di Indoensia. Di indoensia penyakit infeksi seperti TBC,
hepatitis, demam berdarah, meningitis dll., sudah menjadi epidemik yang dapat kita
temukan di berbagai wilayah di tanah air. Infeksi
merupakan suatu penyakit yang disebabkan oleh kuman, baik bakteri, virus, jamur, atau parasit lain. Penyakit ini sering
ditemukan pada daerah tropik seperti Indonesia. Penanganan penyakit ini dapat
menggunakan antibiotika yang dapat membantu dalam pengontrolan infeksi dan
menangani kuman resisten yang terdapat dalam infeksi tersebut (WHO, 2001). Antibiotika adalah senyawa kimia yang dihasilkan oleh berbagai jasad
renik seperti:
bakteri, jamur dan aktinomiset, yang dapat berkhasiat menghentikan pertumbuhan atau
membunuh jasad renik lainnya yang meruguikan tubuh (Subronto dan Tjahajati, 2001).
Antibiotika
yang diperoleh secara alami dari mikroorganisme disebut antibiotikaa alami, antibiotika
yang disintesis di laboratorium disebut antibiotika sintetis. Antibiotika yang
dihasilkan oleh mikroorganisme dan dimodifikasi di laboratorium dengan menambahkan
senyawa kimia disebut antibiotika semisintetis (Subronto dan Tjahajati, 2011).
Penemuan antibiotika diinisiasi oleh Paul Ehrlich yang
pertama kali menemukan apa yang disebut “magic bullet’, yang dirancang untuk
menangani infeksi mikroba. Pada tahun 1910, Ehrlich menemukan antibiotika pertama,
Salvarsan, yang digunakan untuk melawan syphilis. Ehrlich kemudian diikuti oleh
Alexander Fleming yang secara tidak sengaja menemukan penicillin pada tahun
1928. Tujuh tahun kemudian,Gerhard Domagk menemukan sulfa, yang membuka jalan
penemuan obat anti TB, isoniazid. Pada 1943, anti TB pertama ,streptomycin,
ditemukan oleh Selkman Wakzman dan Albert Schatz. Wakzman pula orang pertama
yang memperkenalkan terminologi antibiotika. Sejak saat itu antibiotika ramai
digunakan klinisi untuk menangani berbagai penyakit infeksi (Zhang, 2007).
Secara garis besar antibiotika dibagi menjadi dua jenis
yaitu yang membunuh kuman (bakterisid) dan yang hanya menghambat pertumbuhan
kuman (bakteriostatik). Antibiotika yang termasuk golongan bakterisid antara
lain penisilin, sefalosporin, aminoglikosida (dosis besar), kotrimoksazol,
rifampisin, isoniazid dan lain-lain. Sedangkan antibiotika yang memiliki sifat
bakteriostatik, dimana penggunaanya tergantung status imunologi pasien, antara
lain sulfonamida, tetrasiklin, kloramfenikol, eritromisin, trimetropim,
linkomisin, klindamisin, asam paraaminosalisilat, dan lain-lain (Laurence &
Bennet,1987). Antibiotika yang dibagi berdasar senyawa kimianya antara lain
golongan penicillin, cephalosporin, amfenikol, aminoglikosida, tetrasiklin,
makrolida, linkosamid, polipeptida, dan antimikobakterium.
Penggunaan antibiotika di Indonesia yang cukup dominan
adalah turunan tetrasiklin, penisilin, kloramfenikol, eritromisin dan
streptomisin. Seperti juga di negara lain, pola penggunaan antibiotikaa
tersebut telah mencapai tingkat yang berlebihan dan banyak diantaranya
digunakan secara tidak tepat (WHO, 2001). Antibiotika dapat ditemukan dalam berbagai sediaan, dan
penggunaanya dapat melalui jalur topical, oral, maupun intravena. Banyaknya
jenis pembagian, klasifikasi, pola kepekaan kuman, dan penemuan antibiotika
baru seringkali menyulitkan klinisi dalam menentukan pilihan antibiotika yang
tepat ketika menangani suatu kasus penyakit. Hal ini juga merupakan salah satu
faktor pemicu terjadinya resistensi.
Resistensi didefinisikan sebagai tidak terhambatnya
pertumbuhan bakteri dengan pemberian antibiotika secara sistemik dengan dosis
normal yang seharusnya atau kadar hambat minimalnya. Sedangkan multiple drugs resistance (MDR)
didefinisikan sebagai resistensi terhadap daua atau lebih obat maupun
klasifikasi obat. Sedangkan cross resistance adalah resistensi suatu obat yang
diikuti dengan obat lain yang belum pernah dipaparkan (Tripathi, 2003).
Resistensi terjadi ketika bakteri berubah dalam satu atau
lain hal yang menyebabkan turun atau hilangnya efektivitas obat, senyawa kimia
atau bahan lainnya yang digunakan untuk mencegah atau mengobati infeksi.
Bakteri yang mampu bertahan hidup dan berkembang biak, menimbulkan lebih banyak
bahaya. Kepekaan bakteri terhadap kuman ditentukan oleh kadar hambat minimal
yang dapat menghentikan perkembangan bakteri (Bari,2008). Timbulnya
resistensi terhadap suatu antibiotika terjadi berdasarkan salah satu atau lebih
mekanisme berikut:
o Bakteri mensintesis suatu enzim inaktivator atau penghancur antibiotika
. Misalnya Stafilokoki, resisten terhadap penisilin G menghasilkan
beta-laktamase, yang merusak obat tersebut. Beta-laktamase lain dihasilkan oleh
bakteri batang Gram-negatif.
o Bakteri mengubah permeabilitasnya terhadap obat. Misalnya
tetrasiklin, tertimbun dalam bakteri yang rentan tetapi tidak pada bakteri yang
resisten.
o Bakteri mengembangkan suatu perubahan struktur sasaran bagi
obat. Misalnya resistensi kromosom terhadap aminoglikosida berhubungan dengan
hilangnya (atau perubahan) protein spesifik pada subunit 30s ribosom bakteri
yang bertindak sebagai reseptor pada organisme yang rentan.
o Bakteri mengembangkan perubahan jalur metabolik yang
langsung dihambat oleh obat. Misalnya beberapa bakteri yang resisten terhadap
sulfonamid tidak membutuhkan PABA ekstraseluler, tetapi
seperti sel mamalia dapat menggunakan asam folat yang telah dibentuk.
o Bakteri mengembangkan perubahan enzim yang tetap dapat
melakukan fungsi metabolismenya tetapi lebih sedikit dipengaruhi oleh obat dari
pada enzim pada kuman yang rentan. Misalnya beberapa bakteri yang rentan
terhadap sulfonamid, dihidropteroat sintetase, mempunyai afinitas yang jauh
lebih tinggi terhadap sulfonamid dari pada PABA (Jawetz, 1997).
Penyebab utama resistensi antibiotika
adalah penggunaannya yang meluas dan irasional. Lebih dari separuh pasien dalam
perawatan rumah sakit menerima antibiotika sebagai pengobatan ataupun
profilaksis. Sekitar 80% konsumsi antibiotika dipakai untuk kepentingan manusia
dan sedikitnya 40% berdasar indikasi yang kurang tepat, misalnya infeksi virus.
Perkembangan
resistensi bakteri terhadap antibiotika sangat dipengaruhi oleh intensitas
pemaparan antibiotika di suatu wilayah, tidak terkendalinya penggunaan antibiotika
cenderung akan meningkatkan resistensi kuman yang semula sensitif. Beberapa
survai resep di dalam dan luar negeri menemukan bahwa antibiotikaa betalaktam
masih merupakan antibiotika yang paling banyak diresepkan sehingga kuman-kuman
telah resisten terhadap antibiotikaa tersebut (WHO, 2001)
Rumah sakit dapat memonitor kepekaan dengan mencatat data
laboratorium uji kepekaan, sehingga dapat digunakan untuk membuat pedoman
penggunaan antibiotika, antibiotika yang masih berpotensi dapat diketahui, penggunaan antibiotika dapat
dilaksanakan secara tepat, aman dan efektif serta menghasilkan luaran klinik
yang lebih baik (WHO, 2001). Peta kuman
atau yang
disebut peta bakteri dan kepekaannya terhadap antibiotika di
suatu rumah sakit dapat digunakan sebagai acuan pemberian antibiotika secara
empirik. Pernyataan
tersebut bertujuan untuk menghindari penggunaan antibiotikaa
yang tidak bijaksana (Parwati, 2012).
(Disarikan
dari Laporan PLA mahasiswa Non Kpendidikan di RSHS tahun 2014)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar