Bertanya adalah
kemampuan dasar dan naluri manusia untuk mencari jawaban atas fenomena yang ada
di sekitarnya. Sejak balita sampai tua manusia selalu mengajukan pertanyaan
baik terungkap secara eksplisit maupun tidak terungkap. Demikian juga dalam
konteks pembelajaran kemampuan dan keterampilan guru dalam mengajukan
pertanyaan merupakan salah satu keterampilan dasar mengajar yang harus dimiliki
oleh setiap guru. Menurut Lindsey (1988 dalam Widodo 2012) menyatakan bahwa
bertanya bukanlah suatu keterampilan mudah dan dapat berkembang dengan
sendirinya tanpa latihan. Untuk dapat mengajukan pertanyaan, harus
melewati beberapa tahapan:
·
Pertama, anak harus menguasai pengetahuan dasar berkaitan dengan topik yang
sedang dibicarakan;
· Kedua,
anak harus dapat bisa melihat bagaimana kesesuaian apa yang telah diketahui
tersebut dengan hal-hal lain yang belum diketahui;
·
Ketiga, anak harus menganalisis hubungan antara yang telah diketahui dengan
yang belum diketahui;
·
Keempat, anak harus mengenali mana yang relevan dan yang tidak relevan dari
informasi yang ada; dan
·
Kelima, anak harus melakukan analisis sebab akibat dan melakukan verifikasi;
Tahapan di atas dengan jelas menunjukkan bahwa tanpa
latihan dan pembiasaan sulit untuk diharapkan bahwa anak akan menjadi trampil
bertanya dengan sendirinya.
Beberapa
penelitian mengungkapkan bahwa siswa SD jarang sekali mengajukan pertanyaan
(Widodo, Sumiati & Setiawati, 2006) padahal saat mereka masih kecil atau
saat tidak di dalam kelas anak banyak sekali bertanya. Mengapa dalam
pembelajaran jarang sekali muncul pertanyaan siswa? Salah satu penyebab
kurangnya siswa bertanya adalah kurangnya kesematan yang diberikan guru. Ada
beberapa alasan terkait hal ini, misalnya terlalu banyaknya materi yang harus
disampaikan guru, kekhawatiran guru akan munculnya pertanyaan yang sulit
dijawab, atau pandangan bahwa pertanyaan yang diajukan siswa seringkali merupakan
pertanyaan yang “konyol” atau aneh-aneh.
Beberapa alasan
yang menghalangi guru untuk mendorong siswa bertanya sesungguhnya bisa
dikurangi apabila guru menguasai keterampilan menangani pertanyaan siswa.
Keterampilan menangani pertanyaan siswa merupakan keterampilan yang dapat
dipelajari. Agar dapat menangani pertanyaan siswa, guru perlu memahami
jenis-jenis pertanyaan yang umum diajukan oleh anak SD. Penulis menggunakan
kata “menangani” dan bukannya kata “menjawab” karena seringkali akan lebih baik
apabila guru tidak menjawab pertanyaan siswa secara langsung sekalipun guru
tahu jawabannya, namun membantu siswa menemukan sendiri jawaban pertanyaannya.
Meskipun demikian hal ini tentu saja tergantung pada pertanyaan macam apa
yang diajukan.
Seringkali
apabila siswa mengajukan pertanyaan, pertanyaan tersebut seringkali merupakan
pertanyaan yang kurang bermakna dan sulit di jawab. Menurut Harlen (1997),
pertanyaan yang diajukan siswa dapat dikelompokkan menjadi 5 jenis, yaitu:
- Pernyataan (komentar yang dinyatakan dalam bentuk pertanyaan)
Pertanyaan yang diajukan siswa sesungguhnya bukanlah pertanyaan, namun
merupakan komentar mereka sebagai bentuk ungkapan kekaguman. Pertanyaan jenis
ini tidak perlu dijawab, namun harus diberikan tanggapan sehingga pertanyaan
tersebut dapat mendorong siswa belajar.
Contoh:
Pada saat sedang mengamati buah-buahan yang ukurannya sangat besar seorang
anak bertanya “Mengapa buah ini besar sekali?” pertanyaan ini sebenarnya
hanyalah ungkapan kekaguman anak terhadap buah yang besar. Sebenarnya guru bisa
saja mencoba menjelaskan kepada anak tersebut, namun penjelasan ini tidaklah
perlu dan mungkin juga terlalu sulit dipahami anak. Dalam kasus seperti ini
guru bisa mengarahkan siswa untuk mengamati apakah semua buah sama besarnya
atau mengamati buah yang besar tersebut.
- Pertanyaan yang bersifat filosofis
Pertanyaan jenis ini sesungguhnya tidak ada jawabannya, misalnya
pertanyaan: “Mengapa daun pisang lebar sedangkan daun beringin kecil-kecil?”
Apabila ditelusuri lebih jauh ternyata seringkali pertanyaan seperti ini muncul
karena siswa belum terampil dalam bertanya. Seringkali yang ingin mereka
tanyakan adalah penjelasan tentang keragaman dan bukan mengapa keragaman itu
terjadi.
Seringkali anak menggunakan kata tanya ‘mengapa’ sehingga pertanyaan
tersebut terkesan sebagai pertanyaan filosofis, padahal yang ingin mereka
ketahui sesungguhnya adalah ‘apa yang membuat seperti keadaan yang ada’ dan
bukan ‘mengapa keadaannya bisa seperti demikian’. Apabila pertanyaan yang
diajukan oleh siswa tampak sebagai pertanyaan filosofis, langkah pertama yang
harus dilakukan adalah meminta anak untuk menjelaskan apa yang sesungguhnya
ingin dia ketahui jawabannya, misalnya dengan bertanya “Apa maksud kamu?”.
Apabila siswa masih kesulitan guru bisa mencoba dengan memformulasikan ulang
pertanyaan siswa, misalnya “Apakah maksud kamu adalah apa saja perbedaan antara
daun pisang dan daun beringin?”
- Pertanyaan yang menuntut fakta sederhana
Pertanyaan yang termasuk kategori ini adalah pertanyaan yang menuntut
jawaban tentang nama, asal, waktu dan ukuran. Pertanyaan ini hanya memerlukan
jawaban yang singkat. Pertanyaan jenis ini mungkin perlu segera dijawab, namun
kadang siswa perlu diberi kesempatan untuk menemukan sendiri jawabannya.
Contoh
Pada saat sedang berkeliling alaman sekolah seorang siswa bertanya “Apa
nama tumbuhan ini?”, “Apakah buahya bisa dimakan?”
Pertanyaan seperti ini seringkali muncul karena anak hanya sekedar ingin
tahu bahwa semua tumbuhan mempunyai nama. Mereka akan puas apabila mereka sudah
diberi tahu jawabannya. Beberapa pertanyaan yang meminta fakta sederhana
seringkali tidak dapat dijawab. Anak-anak kecil seringkali berpandangan bahwa
gurunya mengetahui segalanya dan adalah sangat penting bagi guru agar anak
sadar bahwa guru bukanlah orang yang tahu segalanya. Karena itu apabila
guru memang tidak tahu jawabannya guru bisa berkata “Ibu tidak tahu jaawabanya,
bagaimana kalau kita cari bersama-sama jawabanya”.
- Pertanyaan yang memerlukan jawaban yang kompleks
Seringkali anak-anak mengajukan pertanyaan yang menuntut jawaban yang
panjang lebar dan kompleks yang apabila dijelaskan juga sulit dimengerti oleh
anak tersebut. Guru dapat saja menjawab pertanyaan jenis ini, namun hendaknya diusahakan
sesederhana mungkin sehingga bisa dimengerti anak. Namun sering juga salah satu
aspek pertanyaan yang kompleks ini dapat dipecah sehingga menjadi pertanyaan
yang bisa dicari jawabannya dengan pengamatan.
Contoh
Ketika mengamati sederetan semut yang berjalan
beriringan melewati lintasan yang sama siswa kemudian bertanya “Mengapa
semut-semut itu mengambil jalan yang sama?” Penjelasan pertanyaan ini
bisa sulit sebab guru harus menjelaskan tentang bahan kimia semacam feromon
yang dikeluarkan semut. Kalaupun guru bisa memberikan penjelasan belum tentu
siswa bisa memahaminya. Karenanya memberikan penjelasan tidaklah banyak
bermanfaat.
Pertanyaan seperti ini tampaknya merupakan jenis
pertanyaan yang paling sulit untuk dijawab oleh guru, namun sebenarnya pertanyaan
tersebut merupakan pertanyaan yang sangat bermanfaat untuk mengarahkan pada
kegiatan penelitian. Untuk itu guru perlu “mengubah“ pertanyaan siswa menjadi
pertanyaan yang bisa diteliti. Guru misalnya bisa bertanya “Apakah kalau
lintasan semut tadi dihapus, semut-semut akan tetap berjalan mengikuti lintasan
yang ada?” Pertanyaan ini bisa ditemukan jawabannya setelah kita mencobanya
dengan menghapus lintasan semut tadi.
‘Mengubah’ pertanyaan anak menjadi pertanyaan yang
dapat diteliti merupakan keterampilan yang penting yang harus dimiliki oleh
guru. Keterampilan ini akan membuat guru dapat memperlakukan pertanyaan
yang sulit secara serius tanpa memberikan jawaban yang di luar batas pemahaman
anak. Hal ini juga menunjukkan kepada anak bahwa mereka dapat menemukan
sendiri jawaban pertanyaann mereka melalui kegiatan investigasi
(penelitian). Hal ini sekaligus menunjukkan kepada anak tentang apa itu
kegiatan ilmiah dan menemukan jawaban dengan menanyakan langsung pada bendanya.
- Pertanyaan yang dapat mengarah pada kegiatan pengamatan dan penelitian sederhana
Walaupun sangat jarang terjadi, namun kadang anak mengajukan pertanyaan
yang mengarah pada penyelidikan. Apabila muncul pertanyaan jenis ini hendaknya
dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk mengajak anak melakukan pengamatan atau
penyelidikan. Apabila kegiatan pengamatan atau penyelidikan tersebut tidak
dapat dilakukan saat itu juga guru dapat merencanakannya untuk kesempatan yang
lain.
(Materi dikutip dari Makalah pengabdian masyarakat pelatihan keterampilan
proses Sains bagi guru-guru SD Kodya Bandung, sumber: DR. Ari
Widodo)